Selasa, 01 Oktober 2013

makalah ulumul hadits


MAKALAH
HADITS MURSAL

Makalah ini disusun guna memenuhi mata kuliah Ulumul Hadits.
Dosen pengampu : Dr. Ja’far Assagaf, MA







Disusun oleh:
Ana Saraswati (123111029)






PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2012/2013


PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN
Hadits Mursal berasal dari kata Al-Irsal yang secara bahasa berarti melepaskan. Sedangkan secara istilah, Hadits Mursal ialah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda begini atau berbuat seperti ini”.
Definisi tentang Hadits Mursal yang paling masyur adalah:
للمُرْسَلُ هُوَ مَارَفَعَهُ التَّابِعِى بِأَنْ يَقُوْلَ : قَا لَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ...سَوَاءَكَانَ التَّا بِعِى كَبِيْرًا اَوْ صَغِيْرًا.
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi’in dengan mengatakan, “Rasulullah saw. Berkata...” baik ia tabi’in besar maupun tabi’in kecil.[1]
B.     CONTOH HADITS MURSAL
Contoh hadits mursal yaitu hadits riwayat al-Syafi’i:
اَخْىَرَنَا سَعِيْدُ عَنِ بْنِ حُبْرَيْجٍ قَالَ اَخْبَرَ نِى حُمَيْدٌ اْلاَعْرَجُ عَنْ مُجَا هِدٍ اَنَّهُ قَالَ كَانَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُظْهِرُ مِنَ التَّلْبِيَةِ...لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ...
Menyampaikan hadits kepada kami Sa’id dari Ibnu Juraij, katanya: Menyampaikan hadits kepadaku Humaid al-A’raj dari Mujahid, ia berkata bahwa dahulu Nabi Muhammad saw mengeraskan bacaan talbiyah “labbaikakkahumma labbaik”(Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu).
Contoh lain dari hadits mursal yaitu hadits Musa bin Thalhah dari Umar bin al-Khaththab, ia berkata:
اِنَّمَا سَنَّ رَسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ فِى هَدِهِ اْلاَرْبَعَةِ الحِنْطَةِ وَا لشَعِيْرِ وَا لزَّبِيْبِ وَا لتَّمْرِ.
Sesungguhnya Rasulullah saw menetapkan zakat hanya pada empat harta berikut; gandum, barley, anggur, dan kurma.
C.    MACAM-MACAM HADITS MURSAL
Tabi’in tidak menyebutkan bahwa ia menerima hadits itu dari sahabat tapi ia mengatakan ia menerima hadits itu dari Rasulullah saw. Al-Hakam menyebutkan adanya dua macam Hadits Mursal[2]:
a.       Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkanya nama sahabat dan dilakukan oleh tabi’in besar.
b.      Mursal al-khafi yaitu pengguguran nama sahabat yang dilakukan oleh tabi’in kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun dari sahaby walaupun ia hidup sezaman dengan sahaby tersebut.
Termasuk juga kedalam hadits mursal yaitu hadits mursal al-shahabi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Rasulullah saw karena mungkin ia masih kecil atau tidak pada majlis Rasul pada saat hadits itu diwurudkan. Namun sahabat tersebut akan mengatakan bahwa ia menerima hadits itu dari Rasulullah saw.
Mursal Shahabi
مُرْسَلُ الصَّحَا بِى هُوَ مَا يَرْويْهِ الصَّحَا بِى عَنِ ا لنَّبِى صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْمَعْهُ مِنْهُ اِمَّا لِصِغَرِ سِنِّهِ اَوْ تَأَخُّرِ اِسْلَامِهِ اَوْ غِيَا بِهِ عَنْ شُهُودِذَ لِكَ.
Murshal Shahabi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat namun tidak didengarnya langsung dari nabi saw, karena ia masih sangat kecil, atau karena masuk Islamnya belakangan, atau seang tidak bersama Nabi saw ketika hadits itu disabdakan.
Contoh dari hadits mursal shahabi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Turmudzi dari Ibnu Abbas, ia berkata: ketika Abu Thalib sakit , datanglah kepadanya orang-orang Quraisy dan datang pula rasulullah saw untuk menengoknya. Didekat kepala Abu Thalib terdapat tempat duduk, disitulah Abu Jahal duduk. Mereka berkata, “sesungguhnya keponakanmu itu mencela tuhan-tuhan kita.” Abu Thalib berkata, “mengapa kaummu meragukan kamu?” Nabi berkata, “Aku menghendaki mereka berada pada satu kata yang dengannya mereka dapat menundukkan eluruh orang Arab dan dengannya orang-orang non-Arab akan membayar pajak kepada mereka.” Abu Thalib berkata, “Apakah itu?” Nabi menjawab, “yaitu la ilaha ilaallah.” Maka mereka berdiri seraya berkata, jadikanlah Tuhan-Tuhan kami menjadi tuhan yang satu.
Banyak sekali para penulis yang menggunakan istilah mursal dengar pengertian yang luas ini dalam menulis kitab-kitab mereka, diantaranya:
a.       Al-Marasil karya Abu Hatim al-Razi. Kitab ini membahas sanad-sanad yang tidak muttashil.
b.      Jami’ al-Tahshil li Ahkam al-Marasil karya al-Hafizh Khalil bin Kaikaldi al-‘Ala’i. Kitab ini membahas macam-macam hadits munqathi’.
D.    HUKUM HADITS MURSAL
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menggunakan hadits mursal sebagai hujjah. Diantara pendapat yang paling masyur dan penting ada tiga yaitu[3]:
Pendapat pertama, yakni pendapat jumhur dan kebanyakan fuqaha dan ahli ushul menyatakan bahwa hadits mursalitu dha’if dan tidak dapat dipakai hujjah. Hal ini karena rawi yang tidak disebutkan itu tidak dapat diketahui identitas dan karakternya dan boleh jadi ia bukan seorang sahabat. Bila demikian, maka para rawinya meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tsiqat dan orang-orang yang tidak tsiqat.ole karena itu, bila salah seorang rawinya meriwayatkan hadits dengan meng-irsal-kannya, maka barangkali ia menerima hadits tersebut dari orang yang tidak tsiqat. Apabila rawi yang meng-irsal-kan itu tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqat, maka menilai ketsiqatan orang yang tidak jelas identitasnya dianggap tidak cukup.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam al-Muthallibi al-Syafi’i, menjelaskan sebagaimana tertulis dalam al-Risalah bahwa hadits mursal kibar al-tabi’in dapat diterima dengan beberapa syarat, baik pada matan hadits maupun pada rawi yang mengirsalkanya. Hadits mursal itu harus didukung oleh salah satu dari empat faktor berikut:
a.       Diriwayatkan secara musnad melalui jalan lain.
b.      Diriwayatkan secara mursal (pula) oleh rawi lain yang tidak menerima hadits tersebut dari guru-guru pada sanad yang pertama, karena hal ini menunjukan berbilangnya jalur hadits tersebut.
c.       Sesuai dengan pendapat sebagaian sahabat.
d.      Sesuai dengan pendapat kebanyakan ahli ilmu.
Adapun syarat pada rawinya adalah bila ia menyebutkan nama gurunya, maka gurunya itu bukan orang yang majhul dan bukan orang yang dibenci riwayatnya. Apabila faktor-faktor ini terdapat dalam suatu hadits mursal, maka hal ini menunjukan kesahihan sumber hadits tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh al-Syafi’i, sehingga dapat dipakai hujjah.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Hanifah dan Malik serta murid-muridnya, menyatakan bahwa riwayat mursal dari orang yang tsiqat adalah termasuk shahih dan dapat dipakai hujjah. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
a.       Rawi yang tsiqat itu tidak akan mau meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw bila orang yang mendengar dari beliau bukan orang yang tsiqat. Yang lebih mungkin adalah bahwa para tabi’in umumnya menerima hadits dari para sahabat, dan mereka adalah orang-orang yang adil.
Umat Islam pada periode itu umumnya jujur dan adil, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, bila kita tidak melihat hal-hal yang menyebabkan jarh-nya seorang rawi, maka yang lebih mungkin ia adalah adil dan d


[1] Dr. Nuruddin Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2, cet. Ke-1, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), h.153.

[2]
[3] Dr. Nuruddin Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2, cet. Ke-1, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), h.155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar