MAKALAH
MODERNISASI PENDIDIKAN PESANTREN
Makalah ini disusun guna memenuhi mata kuliah
Sosiologi Pendidikan.
Dosen pengampu: H. Muh. Mahbub, M.Si
Disusun oleh:
Ana Saraswati (123111029)
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN
2012/2013
PENDAHULUAN
Pesantren telah lama menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi penting dalam ikut
serta mencerdaskan bangsa. Perbaikan-perbaikan terus dilakukan terhadap
pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas,
agar pesantren keluar dari kesan tradisional dan ketertutupanya. Beberapa
pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Sebagai lembaga, pesantren bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai
keislaman. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada
pesantren tersebut agar dapat menjadi orang-orang yang paham mendalam akan
pengetahuan Islam. Kemudian, mereka akan mengajarkannya kepada masyarakat
setelah mereka lulus dari pesantren.
Makalah ini akan membahas proses modernisasi pesantren hingga
berkembang menjadi boarding school. Akan dibahas juga faktor-faktor penyebab
modernisasi pesantren serta dampak dari modernisasi pesantren.
PEMBAHASAN
Pesantren
sebagai Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia secara struktur internal dan
praktek-prakteknya dapat dikategorikan menjadi empat. Pertama, pendidikan
pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional,
berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist dan hanya belajar cara hidup Islam. Kedua,
pendidikan Madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga model Barat namun tetap menanamkan Islam sebagai landasan hidup
kedalam diri siswa. Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam yaitu
lembaga pendidikan yang program umum namun dilakukan pengembangan suasana
pendidikan yang bernafaskan Islam. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan
di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai salah satu mata pelajaran saja.[1]
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang
berbasis Islam. Pesantren pada mulanya sebagai tempat pengembangan keilmuan
Islam yang kemudian akan membentuk kader-kader ulama yang paham akan ilmu agama,
namun pada jaman kolonial Belanda pesantren menjadi salah satu yang memprotes
dan menentang adanya kolonialisme.
Pesantren berasal dari kata santri, yang berawalan pe di depan dan
akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.[2]
Sedangkan asal usul kata santri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti melek
huruf atau juga berasal dari kata bahasa jawa yaitu cantrik yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru ini pergi dan
menetap.
Unsur-Unsur Pesantren
Pesantren memiliki lima unsur pokok yang membedakan dengan lembaga
pendidikan lain yaitu kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik.[3]
Kyai memiliki peran sentral dalam sebuah kelembagaan pesantren. Kyai memiliki
peran yang banyak yaitu selain menjadi pemimpin sebuah pesantren namun juga
sebagai pemilik dan pengurus tunggal pesantren bahkan Kyai juga merupakan
pengajar yang mendidik langsung santri-santrinya.
Proses belajar mengajar dalam pesantren dulunya berlangsung di
masjid. Masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar.
Namun karena perkembangannya proses belajar terjadi dalam kelas menggunakan
bangku dan meja di dalam suatu ruang-ruang khusus.
Masjid sebagai pusat kegiatan sebenarnya adalah sebuah gambaran
dari ketradisionalan pesantren. Karena pesantren ini mencontoh dari Rasulullah.
Yaitu saat Rasulullah hijrah ke Yastrib, Rasulullah
mendirikan masjid pertama kalinya di Quba, dekat kota Yastrib. Kemudian setelah
sampai di Yastrib, Rasulullah medirikan sebuah masjid tepat di tengah kota
Yastrib dan menjadikanya sebagai pusat pendidikan, Ibadah serta pusat
pemerintahan.
Santri sebagai unsur pokok pesantren dapat dibagi menjadi dua yaitu
santri mukim dan santri kalong. Santri mukim ialah santri yang berasal dari
daerah yang jauh dan menetap dipesantren. Kemudian santri kalong ialah santri
yang hanya belajar agama di pesantren namun tidak menetap dipesantren karena
mereka berasal dari daerah di sekitar pesantren. Perbedaan pesantren kecil dan
besar dapat dilihat dari jumlah santri kalong dan santri mukimnya. Pesantren
yang dikatakan pesantren yang besar jika memiliki jumlah santri mukim yang
lebih banyak dibanding santri kalongnya dan sebaliknya. Santri mukim ini akan menempati
sebuah tempat di dalam pesantren yang kemudian diberi nama pondok. Yang
kemudian di Indonesia nama pesantren lebih dikenal dengan Pondok Pesantren.
Selain itu pendidikan pesantren yang merupakan bagian dari sistem
pendidikan Nasional memilliki tiga unsur utama yaitu, Kyai sebagai pendidik
sekaligus pemilik pondok dan para santri. Unsur yang kedua yaitu kurikulum
pendidikan pondok pesantren dan yang terakhir yaitu adanya sarana peribadatan
dan pendidikan seperti masjid, rumah Kyai, pondok, serta sebagian madrasah dan
bengkel-bengkel keterampilan siswa.
Karakteristik dan Prinsip Pesantren
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki
karakteristik yang sangat bervariasi. Pesantren yang di kota memiliki perbedaan
yang jauh dengan yang di desa. Selain itu masing-masing pesantren memiliki
kemandirian untuk menentukan kurikulum pembelajaranya sendiri. Pesantren
biasanya tidak tergantung dengan instansi pemerintahan, oleh karena itu
pesantren tidak bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan akan
tetap bisa menjaga perannya sebagai lembaga yang bergerak di bidang keilmuan
Islam. Selain itu pesantren akan tetap bisa mempertahankan prinsip-prinsip diri
Islam dari gencarnya pengaruh buruk dari luar yang tentu saja bertentangan
dengan Islam. Sumber-sumber yang umumnya digunakan pesantren dari dulu hingga
sekarang adalah Al-Qur’an, Hadist, dan kitab Kuning.
Pesantren memiliki prinsip yaitu muhafadzah a’la al qadim al
shalih, wa al akhdzu bi al jadid ashlah yaitu tetap memegang tradisi yang positif
dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Pesantren juga
memiliki fungsi sebagai Agent of Change. Sebagai agen perubahan, pesantren
melakukan fungsi mentransfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan
nilai-nilai Islam (Islam values). Pesantren berfungsi sebagai lembaga
keagamaan yang melakukan kontrol sosial. Dan fungsi agen perubahan yang
terakhir yaitu pesantren melakukan rekayasa sosial atau perkembangan
masyarakat.
Dalam kegiatanya, pesantren terangkum dalam “Tri Dharma Pondok
Pesantren” yaitu,
1.
Keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2.
Pengembangan
keilmuan yang bermanfaat.
3.
Pengabdian
kepada agama, masyarakat dan negara.
Pesantren Tradisional
Pesantren sekarang ini terbagi menjadi dua yaitu pesantren
tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional memiliki peran penting yaitu
sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu tradisional serta sebagai
penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional yang murni memegang
teguh hanya ilmu keislaman saja kemudian pesantren menjadi pusat pembentukan
ulama, ustadz, guru-guru yang ahli agama.
Pesantren tradisional juga memiliki fungsi sebagai lembaga
pengembang budaya yang sifatnya lokal. Budaya lokal yang dimaksud yaitu faham
tarekat. Faham tarekat ialah faham yang ditandai dengan terbentuknya
kelompok-kelompok tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir, wirid dan
suluk. Sehingga pesantren sebagai pengembang kebudayaan atau pusat tarekat
dengan fungsi pesantren sebagai tempat pendidikan Islam memiliki hubungan yang tidak
dapat dipisahkan.
Pesantren tradisional memiliki ciri yaitu kesederhanaan hidup.
Kurikulum yang diajarkan di pesantren tradisional pun umumnya hanya ilmu
keislaman saja yag berasal dari Al-Qur’an, hadist dan kitab-kitab klasik.
Materi-materi yang di ajarkan oleh pesantren yaitu inti ajaran Islam berupa tri komponen ajaran dasar
Islam yaitu: iman, islam dan ikhsan. Kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu
seperti: Shorof, Nahwu, Fiqih, Tafsir, Ilmu Kalam. Kemudian kurikulum pesantren
bertambah luas tetapi masih dalam rincian dari materi dasar dengan beberapa
tambahan seperti: fiqih dengan ushul al fiqih dan qawaid al fiqih, hadis dengan
mustalah hadis, bahasa arab dengan nahwu, sorof, bayan, ma’ani, badi’ dan
arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak dan falak.
Sedangkan metode pembelajaran yang digunakan pesantren
tradisional pada awalnya yaitu menggunakan metode sorogan, wetonan (bandongan),
muhawarah, madzakarah dan majelis ta’lim. Jenis pesantren yang menggunakan
sistem sorogan dan weton ialah pesantren salafi. Pesantren salafi merupakan
jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai
inti pendidikanya.[4]
Oleh karena itu pesantren tradisional mengalami banyak kendala dalam
proses perkembanganya. Hal tersebut disebabkan karena:
1.
Pesantren
dianggap tradisional, baik dari segi proses belajar mengajarnya, manajemennya
serta outputnya.
2.
Pesantren
akhir-akhir ini dianggap melahirkan yang namanya terorisme. Akibat dari
ketertutupan pesantren yang tidak mau membuka diri dengan modernisasi yang
kemudian para santri tersebut menentang adanya pembaharuan dan menganggap
modernisme itu sesuatu yang buruk. Kemudian para santri akan melakukan hal-hal
yang disebut terorisme. Hal ini juga disebabkan terorisme yang tertangkap
mengaku mereka beragama Islam dan berasal dari pesantren-pesantren.
3.
Sarana
dan prasarana yang kurang memadai, hal ini terjadi karena prinsip pesantren
yang hidup sederhana. Mereka hanya menyediakan fasilitas sesederhana mungkin
sehingga jauh dari kata cukup sesuai standar hidup orang biasa. Selain itu
ekonomi pesantren yang kurang terstruktur menyebabkan penyediaan fasilitas
menjadi terhambat. Pesantren biasanya hanya mengandalkan dana bantuan dari
donatur atau dana pribadi Kyai sebagai pemilik tunggal bahkan sampai terjadi
penggalangan dana di pinggir jalan maupun kerumah-rumah penduduk.
4.
Sumber
daya manusia yang dihasilkan memiliki kemampuan agama yang mumpuni namun
kemampuan sosialisasi dengan masyarakat kurang bahkan tidak memiliki
keterampilan untuk bersaing dengan masyarakat lainya. Umumnya lulusan pesantren
tidak dibekali dengan kemampuan menggunakan teknologi terbaru.
Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan
dalam pesantren yaitu:
1.
Tamaddun
yaitu memajukan pesantren. Managemen dan administrasi dijalankan secara
kekeluargaan dan semuanya berpusat pada satu orang yaitu Kyai.
2.
Tsaqafah
yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif,
produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran agama Islam. Misalnya,
seorang santri tidak hanya taat pada tradisi pesantren namun juga bisa
menguasai teknologi moden.
3.
Hadharah
yaitu membangun budaya. Budaya yang dimaksudkan adalah budaya yang diwarnai
oleh jiwa Islam dan tradisi Islam serta tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam.
Melihat keterpurukan pesantren tradisional, maka pesantren harus
bangkit dengan menjawab tantangan-tantangan tersebut. Pesantren harus di
modernisasikan agar bisa memenuhi tuntutan zaman.
Pesantren Modern
Modernisasi pesantren sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1910
M. Hal ini ditandai dengan sudah adanya pondok untuk santriwati atau santri
perempuan di Pondok Denanyan Jombang. Kemudian tahun 1920 M mulai adanya
penambahan mata pelajaran umum seperti pelajaran berhitung, bahasa Indonesia
dan Belanda, ilmu bumi.
Maka sejak Orde Baru mulai munculah pesantren modern. Hal ini
disebabkan perekonomian masyarakat yang meningkat. Pesantren modern ini
mengadopsi sistem pendidikan formal. Namun masih berpegang teguh pada ajaran
Islam. Sistem pembelajaranya di seimbangkan dengan sistem pembelajaran modern
yaitu dengan mengikuti kurikulum pemerintah yang kemudian dicampur dengan
kurikulum keislaman. Sehingga pesantren modern lebih unggul dibanding dengan
lembaga pendidikan lain karena sumber daya manusia yang akan dihasilkan akan
lebih mampu bersaing dalam dunia kemasyarakatan. Tenaga pendidiknya pun
diambilkan dari sarjana-sarjana dan tidak hanya berpusat pada Kyai saja.
Jenis pesantren yang disebut pesantren modern adalah pesantren
khalafi. Pesantren khalafi dapat menerima hal-hal baru yang positif tetapi
tetap bisa mempertahankan tradisi lama. Pesantren jenis ini membuka sekolah
reguler dilingkungan pesantren. Kurikulum yang diajarkan pun disesuaikan kurikulum
terbaru namun pengajaran agama pesantren dan pelajaran kitab-kitab klasik tetap
dilaksanakan.
Pesantren tradisional berubah menjadi pesantren modern tidak
langsung menghilangkan tradisi lama. Pesantren modern tetap memegang
nilai-nilai tradisi kefalsafahanya. Untuk menyetarakan dengan sekolah umum,
pesantren dapat menempuh jalan menambah mata pelajaran tambahan seperti
keterampilan komputer, kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lainya dan mengadakan
program kejar paket A, B dan C agar santri-santrinya mendapat ijazah persamaan.
Sehingga santri-santri lulusan pesantren juga bisa terjun dan bersaing dalam
dunia kerja.
Pesantren Boarding School
Boarding school merupakan bentuk dari pesantren yaang modern.
Sesuai dengan pengertianya, boarding school merupakan sekolah berasrama. Dalam
sistem sekolah ini pendidikan reguler dilaksanakan dari pagi hingga siang hari
di sekolah kemudian siang sampai malam dilaksanakan pendidikan agama layaknya
pesantren dan kegiatan ini dilaksanakan di asrama. Santri berada dibawah
pengawasan guru atau ustadz pembimbing selama 24 jam.
Dalam pendidikan reguler, santri diberi pelajaran layaknya sekolah
umum seperti IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, komputer serta pelajaran
seni dan olahraga agar santri bisa menyalurkan bakat dan hobinya.
Metode pembelajaran yang digunakan tidak lagi seperti
pesantren tradisional yaitu dengan tanya jawab, imla, muthala’ah, diskusi,
hafalan, problem solving, pemberian situasi, pembiasaan, keteladanan,
stimulus-respon dan sistem modul.
Boarding school ini muncul dan dapat berkembang karena
adanya beberapa faktor yaitu:
1. Perubahan lingkungan sosial. Lingkungan sosial kini telah banyak berubah
terutama di kota-kota besar. Masyarakat sekarang hidup secara heterogen, majemuk,
dan plural. Hal ini berakibat pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena
berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu orangtua
yang berpendidikan menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu tidak
kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.
2. Keadaan
ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan pendidikan yang
tinngi. Kalangan menengah-atas menganggap akibat tingkat pendidikan mereka yang
cukup tinggi mereka bisa mendapatkan posisi yang baik dalam profesi dan
berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong mereka untuk
memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang
telah diterima orang tuanya.
3. Cara
pandang religiusitas. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang
bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan
semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi
negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk
itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka.[5]
KESIMPULAN
Pesantren tradisional ialah lembaga pendidikan agama yang masih
sederhana dalam proses pelaksanaanya. Baik dari segi proses belajar mengajar
maupun fasilitasnya. Materi yang diajarkan hanya bersumber dari alqur’an,
hadist dan kitab klasik.
Pesantren modern ialah lembaga pendidikan yang bernafaskan islam
dan sudah menambahkan kurikulum pemerintah. Bentuk lain dari pesantren modern
yaitu boarding school. Alumni yang dihasilkan sudah mampu menghadapi tantangan
zaman karena paham ilmu agama dan juga teknologi modern.
Perubahan pesantren tradisional ke pesantren modern bukanlah
perubahan yang total namun hanya penyesuaian terhadap tututan zaman namun tetap
mempertahankan tradisi dan nilai-nilai pesantren.
Faktor-faktor yang menyebabkan modernisasi pesantren yaitu adanya perubahan lingkungan sosial,
pertumbuhan ekonomi dan sudut pandang religius serta ketidakpuasan terhadap
jenjang pendidikan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Yasmadi,
M.A.2005. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching
[1] Drs.
Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, cet. Ke-2, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005),
h.59. lihat juga Mochtar Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di
Indonesia, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h.243-244.
[2] Drs.
Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, cet. Ke-2, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005),
h.61.
[3] .
Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, cet. Ke-2, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005),
h.63.
[4] Yasmadi,
M.A, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, cet. Ke-2, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h.70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar