Selasa, 16 April 2013

makalah ushul fiqh


SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Ushul Fiqh
Dosen pengampu :Muh. Latief Fauzi, MA
Disusun oleh :
Agung Jaka W        (123111008)
Ana Saraswati        (123111029)
Anna Mutho Haroh    (12311040)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
IAIN SURAKARTA
2012
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pada makalah ini penulis ingin menjelaskan sumber-sumber hukum dalam Islam. Sumber hukum utama dalam Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan as-sunnah.
Para imam  mazhab sepakat dengan dalil yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah yakni al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat tersebut benar tetapi al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum utama yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Semua hukum Islam termaktub didalam al-Qur’an dan as-sunnah berperan sebagai penjelas hukum al-Qur’an. Maka dari itu umat muslim harus memahami al-Qur’an dan as-sunnah. Karena kedua sumber inilah yang diutamakan dalam penetapan hukum Islam.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah pengertian dari Sunnah dan Dalil?
2.    Apa saja macam-macam Sunnah itu?
3.    Apa saja fungsi Sunnah itu?
4.    Bagaimana kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum?

C.    TUJUAN
1.    Memahami arti sunnah sebagai sumber dan dalil.
2.    Mengetahui macam-macam sunnah.
3.    Memahami fungsi dan peranan sunnah terhadap proses penetapan hukum dalam Islam.
4.    Mengerti kedudukan sunnah sebagai sumber hukum dan dalil dalam Islam.



























PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN DALIL DAN SUNNAH
Menurut istilah arab, dalil berarti acuan bagi apa-apa yang bersifat material maupun spiritual, yang bersifat baik atau yang buruk. Secara terminologi dalil memiliki pengertian suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang bersifat qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif).
Hukum-hukum Islam diambil dari empat sumber yaitu:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
Keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur umat islam sebagai dalil. Adapun dalil terhadap penggunaan dalil tersebut di atas ialah firman Allah SWT. Dalam surat an-Nisa’ sebagai berikut:

Pengertian Sunnah dari segi bahasa ialah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan tanpa mempermasalahkan apakah cara tersebut baik atau buruk. Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW:
منسنن فى ا لا سلا م سننة فله ا جر ه و ا جر من عمل بها من بعد ه
Artinya:
    “Barangsiapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.” (H.R Muslim) (Al-Khatib : 17)
Menurut istilah, kalimah sunnah ialah berasal dari: (“Sanna – سَنَّ”)  Sunnah menurut bahasa ialah: At-Tariqah (الطريقة) “Jalan atau cara”
Disebut dalam kamus “Lisanul Arab” sebagai berikut:
اَلسُّنَّةُ هِيَ الطَّرِيْقَهُ ، مَحْمُوْدَةٌ كَانَتْ اَمْ مَذْمُوْمَةٌ.
“As-Sunnah: Jalan, sama ada yang terpuji (baik) atau yang keji (buruk)”.
Secara terminologi, pengertian Sunnah bisa dilihat dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya:
1.    Ilmu Hadits
Para ahli hadits mengidentifikasikan sunnah dengan hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
2.    Ilmu Ushul Fiqh
Sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3.    Ilmu Fiqh
Sunnah menurut ahli fiqh hampir sama dengan ahli ushul fiqh. Tapi istilah dalam fiqh juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala apabila dikerjakan dan tidak berdosa bila ditinggalkan.


B.    MACAM-MACAM SUNNAH
Para ulama mengenal beberapa sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah SAW, antara lain: sunnah ghairu muakkadah, sunnah mu’akadah, sunnah zaidah, dan sunnah hadyin.
1.    Sunnah Ghairu Muakkadah
مَا لَمْ يُوْصِبُ عَلَيْهِ ا لرَّسُوْلُ
Artinya: “sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakanya”.
Atau segala sesuatu perbuatan yang dituntut untuk melakukanya namun tidak di cela jika meninggalkanya tetapi rasulullah sering meninggalkanya. Seperti sholat empat rekaat sebelum dzuhur.
2.    Sunnah Mu’akadah
مَاوَا طَبَ عَلَيْهِ لرَّسُوْ لُ اَوْ مَا كَانَ كْثِرْمِنْ ثَرَ كْهِ عَلَا مَةِاِنَّهُ لَيْسَ بِقَرْ ضٍ
Sesuatu pekerjaan yang tetap dikerjakan rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa itu bukan fardhu.
3.    Sunnah Zaidah
هِيَ الأُمُوْرُالَّتِيْ كَانَ يَفْعَلُهَا النَّبِيُّ ص م وَ هِيَ اُمُوْرُ عَا دِ يَةٌ جُلُقِيَةٌ
“Segala sesuatu yang nabi kerjakan dan masuk urusan adat kebiasaan”
Segala bentuk pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, namun hanya termasuk kebaikan bagi yang melakukanya atau semua perbuatan yang dianjurkan untuk melakukanya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi Muhammad SAW. Seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaan, dan kalau ditinggalkan tidak dikatakan makruh.



4.    Sunnah Hadyin
مَ كَا نَتْ اِقَامَتُهَاتَكْمِيْلًا لِلْوَا جِبَا تِ ا لدِّيْنِيَةِ
Segala bentuk pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama. Seperti Adzan dan jamaah. Orang yang meninggalkan pekerjaan yang tergolong hal ini termasuk sesat dan di cela.

Pembagian As-Sunnah berdasarkan sanad, dilihat dari rawinya, As-sunnah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.    Sunnah mutawatir (hadits mutawatir)
Ialah sunnah yang diriwayatkan dari seorang rasul, sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’in oleh banyak orang sehingga mustahil untuk berdusta menurut adat karena jumlahnya banyak dan perbedaan pandangan serta budaya nya.Biasanya as-sunnah amaliyah yang termasuk bagian ini seperti mengerjakan shalat, puasa, haji, yang bersifat amaliyah.
b.    Sunnah masyurah (hadits masyhur)
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh rasulullah oleh seorang, dua orang atau sekelompok sahabat yang tidak mencapai derajat atau tingkatan sunnah mutawatir. Yang termasuk kelompok ini adalah Umar bin khatab, Abdullah bin mas’ud atau Abu bakar as-siddiq seperti hadits :“sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat”
c.    Sunnah ahaad (sunnah ahad)
Yaitu sunnah yang mempunyai satu atau dua sanad yang berlainan yang tidak mencapai derajat masyhurah.




C.    FUNGSI SUNNAH
Ditinjau dari segi fungsinya, sunnah sangat berkaitan erat dengan Al-Qur’an. Sunnah Al-Nabawiyah memiliki fungsi untuk menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah (perintah-Nya maupun hukum-hukum-Nya). Ditinjau dari segi dilallah (indekial) terhadap hukum-hukum dalam Al-Qur’an baik secara umum maupun terperinci maka sunnah dibagi menjadi:
1.    Bayan Taqrir
Sunnah berfungsi untuk menguatkan ataupun menegaskan perintah atau keterangan di dalam Al-Qur’an. Bahwa makna yang terkandung di dalam sunnah tersebut cocok dengan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Contohnya:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا اللّه و أنّ محمّدا رسول الله وإقام الصلا ة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان و حَجِّ البيت من استطاع إليه سبيلا
Artinya : “Islam itu dibangun atas lima (fondasi), yaitu: kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang telah mampu.”
Hadits ini berfungsi untuk menegaskan kembali (mentaqrir) ayat ayat berikut
و أقيموا الصلوة واتوا الزكوة…
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat……”
يا أيّهاالذين كتب عليكم الصيام..
Artinya : “wahai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa…”
 ….ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا…
Artinya : “Dan kepada Allah manusia menunaikan ibadah haji bagi yang mampu….”
2.    Bayan Tafsir
    Sunnah berfungsi untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mujmal, takhsish ‘am, dan muthlaq.
a.    Menafsirkan ayat-ayat yang mujmal (umum)
Contohnya: Nabi menjelaskan waktu sholat dengan haditsnya
وقت الظهر إذا زالت الشمس, وكان ظلّ الرجل كطوله ما لم يحضر وقت العصر, والوقت العصر ما لم تَصْفَرَّ الشمس,……(رواه مسلم)
Artinya : “waktu dhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah tengah langit, hingga bayangan seorang laki laki sama panjangnya dengan tubuhnya, itulah waktu ashar. Dan waktu ashar adalah ketika matahari belum terbenam…..”
Hadits tersebut merincikan waktu shalat yang tidak terdapat dalam ayat berikut
و أقيموا الصلوة واتوا الزكوة…
Artinya : “Dan dirirkanlah shalat, dan tunaikanlah zakat……”
b.    Mengkhususkan ayat yang bersifat umum (takhsish ‘am)

Misalnya contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 7:

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Tentang hukum waris. Ayat ini merupakan ketentuan umum terhadap semua pewaris yang akanmendapatkan harta warisanya, akan tetapi sunah melakukan spesifikasi bahwa anak yang menjadi pewaris, tidaak akan mendapatkan bagianya jika ia membunuh orang tua yang akan mewarisinya.
Contoh lainnya ialah:
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظّالأنثيين
Artinya : “Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak anakmu, bagian anak laki laki sama dengan bagian dua bagian anak perempuan.” (Q.S An-Nisa’:11)
Ayat tersebut bersifat umum, yakni ayat tersebut menjelaskan setiap anak mendapat warisan dari orang tuanya. Hal ini dikhususkan oleh Nabi dengan sabdanya :
عن أبي هريرة رضي الله أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال : القاتل لا يَرِثُ
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Pembunuh itu tidak mewarisi (tidak mendapat warisan)”
c.    Memberikan batasan kepada ayat yang mutlaq
Dalam Al-Quran disebutkan:
Artinya : “laki laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya….”(Al-Maidah : 38)
Ayat tersebut masih bersifat muthlaq, yaitu belum diterangkan mengenai batasan batasan yang jelas mengenai tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan hukum tersebut. Maka dalam hal ini, hadits Nabi menjelaskan batasannya (taqyid), yaitu bahwa, yang dipotong itu hanya hingga pergelangan tangan saja.

3.    Bayan Tasyri’
Menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menetapkan hukum haram mengawini (poligami) seorang perempuan beserta bibinya, riba fadhl, dan makan daging himar piaraan.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهتُكُمْ وَبَنتُكُمْ وَاَخَوتُكُمْ وَعَمّتُكُمْ وَ خلتُكُمْ وَبَنتُ الاَخِ وَ بَنتُ الاُخْتِ وَاُمَّهتُكُمُ الّتِيْ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهتُ نِسَا ءِكُمْ وَرَبَا
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Fungsi lainnya dari sunnah antara lain: menjelaskan lafadz yang masih kabur dan menghapuskan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

D.    KEDUDUKAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Kedudukan sunnah menurut dalil syara’ berada pada posisi kedua setelah Al-qur’an dalam kaitan ini Al-syatibi dan Al- qasimi, pada dasarnya argumentasi mereka digolongkannya menjadi dua bagian, yaitu argumentasi rasional dan tekstual.
 Al-qur’an bersifat Qath’I al-wurud (pasti), sedangkan sunnah bersifat Zhanny al wurud (sesuai zaman)  oleh karena itu yang Qhat’i harus didahulukan dari yang Zhanny. As-sunnah berfungsi sebagai penjabar atau penjelas dari Al-qur’an. Hadits yang menerangkan urutan dan kedudukan As-sunnah setelah Al-qur’an
“ Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin jabal : bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila anda dihadapkan kepada suatu perkara? Mu’adz berkata : saya akan berpedoman kepada kitap Allah (Al-qur’an), nabi bersabda : bagaimana  kalau anda tidak menemukannya dalam Al-qur’an? Mu’adz berkata : saya akan berpedoman kepada sunnah rasulullah. Nabi bersabda : bagaimana kalau anda tidak menemukannya? Mu’adz berkata : saya akan berijtihad dengan akal dan pemikiran saya.”
Al- qur’an bersifat mujmal (umum) itu memerlukan penjelasan dari As-sunnah.







PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dijelaskan di dalam makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Sunnah ialah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan tanpa mempermasalahkan apakah cara tersebut baik atau buruk.
2.    Macam-macam sunnah yang secara langsung dari sumbernya Rasulullah SAW antara lain: sunnah mu’akkad, sunnah ghairu muakkad, sunnah zaidah, dan sunnah hadiyin. Sedangkan menurut sanad atau periwayatannya antara lain: sunnah mutawatir, sunnah masyurah, dan sunnah ahaad.
3.    Fungsi sunnah anatara lain sebagai: bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’.
4.    Kedudukan sunnah menurut dalil syara’ berada pada posisi kedua setelah Al-qur’an dalam kaitan ini Al-syatibi dan Al- qasimi, pada dasarnya argumentasi mereka digolongkannya menjadi dua bagian, yaitu argumentasi rasional dan tekstual. Al-qur’an bersifat Qath’I al-wurud (pasti), sedangkan sunnah bersifat Zhanny al wurud (sesuai zaman)  oleh karena itu yang Qhat’i harus didahulukan dari yang Zhanny. As-sunnah berfungsi sebagai penjabar atau penjelas dari Al-qur’an.






DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqanalani, Ibnu Hajar, Bulugh Al-Maram. 1989. Dar Al-Fikr. Beirut:
Syafe’I, Rahmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar